Vape, Antara Rokok Alternatif dan Tren Gaya Hidup Baru
"Rasanya aneh, sih." Kalimat itu keluar dari mulut Fathin Arif saat berkisah tentang pengalaman pertamanya menghisap rokok elektrik atau vape. Hambar, katanya.
Maklum, sebelumnya Fathin adalah seorang perokok berat. Tak pernah sehari pun dia meninggalkan batang-batang rokok dan koreknya. Beralih dari rokok konvensional menjadi rokok elektrik tentu bukan perkara mudah.
"Awal-awal, sih, aneh rasanya. Tetap beda lah rasanya kalau dibandingkan sama rokok," kata Fathin saat bercerita kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/10). Sebatang rokok yang dihisap selepas makan pun tak ada lagi di hadapan Fathin.
Lihat juga:Bahaya untuk Kesehatan, IDI Larang Penggunaan Vape
Lambat laut, Fathin terbiasa.
Niat awal Fathin untuk beralih menggunakan vape adalah keinginannya untuk mengurangi konsumsi rokok konvensional. Sebelumnya Fathin selalu menghabiskan satu bungkus rokok setiap hari. Belum lagi jika agenda kongko tiba, dua bungkus pun habis dihisapnya dalam sehari.
"Dulu, mah, parah banget ngerokok-nya. Enggak berhenti-berhenti ngebul [berasap]," kata Fathin seraya tertawa.
Meski tak sepenuhnya meninggalkan, tapi setidaknya jumlah rokok yang dikonsumsi berkurang secara drastis. Dari satu bungkus untuk satu hari, berkurang menjadi satu bungkus untuk tiga hingga empat hari.
Pengurangan rokok itu juga berpengaruh pada kondisi tubuhnya. Enam bulan menjalani gaya hidup anyar sebagai seorang vaper, bernapas pun dirasa lebih leluasa. "Agak lega," kata Fathin. Tubuh juga dirasanya lebih enteng saat bangun tidur.
Lihat juga:Cairan Vape Beraroma dapat Memperburuk Asma
"Pakai vape itu memang ngaruh banget, sih, buat badan. Memang ada yang terasa berbeda aja setelah berbulan-bulan beralih ke vape," ujar Fathin.
Sejak kemunculannya pada lebih dari satu dekade silam, vape telah digadang-gadang sebagai alternatif rokok yang lebih sehat. Jenis tembakau alternatif ini dianggap sebagai cara ampuh bagi para perokok untuk mengurangi konsumsi rokok konvensional.
Keampuhan vape sebagai tembakau alternatif ini dibuktikan oleh sejumlah studi. Mengutip jurnal NCBI, sebuah penelitian yang dipublikasikan pada Maret 2019 menemukan, penggunaan vape dan electronic nicotine delivery system (ENDS) lainnya dapat menurunkan ketergantungan terhadap rokok hingga 44 persen.
"Kebanyakan konsumen vape memang para perokok yang ingin berhenti atau mengurangi rokok," ujar Ketua Humas Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Rhomedal Aquino, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (4/10).
Ada beberapa dari mereka yang berhasil berhenti dari rokok secara total, ada juga yang hanya berhasil pada tahap mengurangi intensitas rokok. Seperti Fathin, misalnya.
Ilustrasi. Sejak awal kemunculannya, vape digadang-gadang sebagai tembakau alternatif yang dapat membantu para perokok untuk terlepas dari kecanduannya. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Beberapa studi juga menyebut bahwa vape lebih aman ketimbang merokok konvensional. Studi yang dipublikasikan dalam British Medical Journal menyebut, vape 95 persen lebih aman dibandingkan rokok konvensional.
Perkaranya ada pada kandungan TAR yang dihasilkan dari reaksi pembakaran tembakau konvensional. TAR diklaim sebagai zat toksik yang menimbulkan bahaya bagi tubuh penggunanya, bukan nikotin.
Sementara pada vape, tak ada proses pembakaran. Singkat kata, tembakau yang tak dibakar tidak menimbulkan TAR.
Namun, gelombang pro dan kontra terhadap vape terus bermunculan. Salah satu pasalnya adalah kabar-kabar tak mengenakkan terkait vape.
Vape telah membuat setidaknya 19 orang meninggal dunia dengan lebih dari 1.000 kasus penyakit paru-paru per Jumat (4/10) di Amerika Serikat. Penyakit paru-paru yang disebabkan oleh vape (VAPI) ini telah ditetapkan sebagai epidemi. Akibatnya, gelombang masyarakat yang menuntut pelarangan peredaran vape pun muncul di AS.
Lihat juga:4 Fakta 'Menarik' Tentang Vape
Hingga saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) masih meneliti kandungan di dalam vape yang menyebabkan penyakit paru-paru tersebut.
"Memang vape tidak sepenuhnya aman. Tapi, setidaknya vape tidak lebih berbahaya jika dibandingkan dengan rokok konvensional," ujar Rhomedal.
Senada dengan beragam hasil penelitian, Rhomedal beralasan, tak adanya TAR yang dipercaya sebagai zat racun membuat vape lebih aman ketimbang rokok konvensional. Cairan yang dipanaskan oleh ENDS hanya menghasilkan uap yang diembuskan ke udara.
Di Indonesia, gelombang kekhawatiran terkait vape itu muncul pada beberapa waktu lalu. Pada Selasa (24/9) lalu, merespons epidemi VAPI yang terjadi di AS, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengimbau atau bahkan melarang masyarakat untuk menggunakan vape. IDI mengklaim bahwa vape terbukti merusak paru-paru, jantung, pembuluh darah, dan organ tubuh lainnya.
Ahli Kesehatan Masyarakat, Widyastuti Soerojo mengatakan bahwa apa yang terjadi di AS menjadi 'early sign' yang mengingatkan masyarakat Indonesia akan bahaya vape dan perangkat ENDS lainnya.
Lihat juga:7 Bahaya Vape, Candu Hingga Penyakit Paru
"Anggapan yang menyebut bahwa vape lebih aman itu salah. Vape berbahaya. Yang menyebut 95 persen lebih aman [daripada rokok konvensional] itu tidak benar," tegas Widyastuti, kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Pengendalian tembakau di Indonesia dinilai gagal oleh Widyastuti. Tak ada penurunan prevalensi secara konstan dan signifikan. Keberadaan vape-yang disebut-sebut dapat membantu mengurangi jumlah perokok-juga tak dilihatnya memberikan pengaruh.
Berdasarkan data yang tercatat, prevalensi perokok pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun ditemukan meningkat. Sirkesnas 2016 mencatat, prevalensi perokok aktif tercatat sebanyak 32,8 persen. Angka itu meningkat hingga 33,8 persen pada Riskesdas 2018.
Baca artikel CNN Indonesia "Vape, Antara Rokok Alternatif dan Tren Gaya Hidup Baru" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20191004192350-255-436863/vape-antara-rokok-alternatif-dan-tren-gaya-hidup-baru.